Bu Paijo mendapatkan penghasilan dari menitipkan kue-kue buatannya di sekolah tempat anak bungsunya menimba ilmu. Pagi-pagi sekali Bu Paijo telah menyiapkan anak-anaknya sarapan dan beberapa loyang kue yang akan dititipkan ke penjual jajanan sekolah. Dengan diantar oleh suaminya, Bu Paijo pergi mengantarkan anaknya dengan harapan anaknya mendapatkan ilmu pelajaran dan kue titipannya laris manis menjadi pilihan jajanan sehat bagi anak-anak sekolah.
Penghasilan suaminya yang hanya sebagai tukang ojek di daerahnya tidak cukup menjanjikan karena terkadang suaminya hanya duduk-duduk saja di pos ojek karena sepinya orang-orang yang meminta jasa ojek. Sebenarnya Pak Paijo mendapat PHK dari perusahaan tempat dia bekerja dahulu pada saat terjadinya krisis moneter. Tiga anaknya yang butuh uang sekolah ataupun kebutuhan hidup sehari-hari menjadi persoalan keluarga. Untungnya Bu Paijo memiliki keahlian lain yaitu bisa memijat tradisional. Sudah banyak ibu-ibu, bapak-bapak ataupun remaja putri yang sudah menjadi langganannya. Terkadang Pak Paijo mengantarkan Istrinya ke rumah orang yang meminta jasa Pijat, tapi terkadang juga Bu Paijo dijemput langsung oleh langganannya. Bu Paijo sekarang menunggu orderan kue ataupun jasa pijat dari telepon genggamnya. Tentu saja suaminya mendukung kegiatan istrinya asal tidak mengganggu fungsinya sebagai ibu rumah tangga.
Itulah kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh Bu Paijo dan keluarganya. Meski hanya tamatan SMP dia membantu pendapatan keluarga dengan membuat kue dan menerima jasa pijat. Setiap akhir pekan orderan agak banyak dibandingkan hari-hari biasanya. Dia memiliki keterampilan dan akhirnya mendapatkan pendapatan yang halal. Peran Bu Paijo tidak dapat dianggap main-main karena telah memberikan kontribusi secara nyata terhadap pendapatan keluarganya. Mereka suami isteri dari kelas bawah berusaha membangkitkan ekonomi keluarga mereka.
Roda perekonomian Indonesia dewasa ini, tak akan pernah lepas dari peran serta para kaum perempuan. Perempuan di balik keberhasilan ketahanan ekonomi keluarga, terlihat lumrah namun secara tak terduga mampu menopang keberhasilan bangsa melewati masa-masa kritis. Melalui usaha mikro yang diwujudkan dalam industri rumahan, perempuan Indonesia terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis tahun 1997 dan 2008, 60 persen di antaranya dimiliki/dikelola perempuan. Perkembangan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya pendidikan perempuan dan pergeseran budaya sebagai dampak globalisasi.
Tahun ini, peringatan Hari Kartini bertepatan dengan 107 tahun wafatnya Kartini dan 83 tahun peringatan Hari Ibu. Meski waktu sudah lama berselang, namun realitas menunjukkan perempuan masih kerap termarjinalkan. Meski jumlah perempuan jauh lebih besar dari laki-laki, namun keberadaan perempuan masih kerap terabaikan.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa pandangan lama yang memarjinalkan kaum perempuan sesungguhnya masih ada di masyarakat kita. Kaum perempuan dipandang sebagai pihak yang hanya punya hak berkiprah di wilayah domestik, sementara wilayah publik dipandang bukan menjadi hak kaum perempuan karena wilayah ini dipandang sebagai wilayah yang keras, kompleks dan membutuhkan stamina fisik, sehingga tidak mungkin kaum perempuan berkiprah di sana. Kaum perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah, emosional, cengeng, tidak dapat menggunakan akal budinya, dan tidak mampu mengembangkan kepemimpinan yang kuat dan efektif.
Dengan demikian, sejak awal perempuan tidak dikondisikan untuk memiliki ketrampilan bekerja atau mungkin ketrampilan ada tetapi tidak diberi akses untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dampaknya justru sangat merugikan tidak hanya bagi perempuan itu sendiri tetapi juga bagi suami dan keluarganya, jika mereka hidup dalam ekonomi yang pas-pasan. Akibat lain dari kondisi seperti itu, perempuan menjadi bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Dalam bidang usaha, kesempatan perempuan lebih terbatas daripada laki-laki. Misalnya untuk urusan peminjaman modal, bank atau isntitusi yang sejenis itu cenderung bersikap diskriminatif terhadap perempuan.
Perempuan tak berdaya? Tidak sepenuhnya benar. Untuk beberapa hal, memang iya. Kaum perempuan masih kerap terpinggirkan haknya bahkan mereka tak diberikan kesempatan untuk menunjukkan potensinya. Memang pandangan-pandangan yang memarjinalkan kaum perempuan pada saat ini sudah tidak lagi dominan, karena ada banyak peristiwa yang memperlihatkan bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
Melihat wanita menjadi sopir kendaraan umum busway misalnya, bukanlah pemandangan yang aneh lagi. Jangan heran juga jika ada ibu-ibu menjadi ojek atau pedagang asongan di sekitar kita. Pekerjaan-pekerjaan berat yang identik dengan pekerjaan lelaki tersebut tidak canggung dilakoni oleh wanita saat ini. Kebutuhan ekonomi yang mendesak dan ide pemberdayaan ekonomi perempuan yang didengung-dengungkan oleh kaum feminis telah menyihir wanita-wanita Indonesia untuk terjun langsung di sektor ekonomi dengan dalih pemberdayaan ekonomi perempuan tidak hanya akan memberi penghasilan, tetapi juga memberi solusi dari persoalan keluarga.
Pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, persoalan perempuan banyak berkutat pada problem himpitan ekonomi, praktek diskriminasi, ketimpangan struktur sosial-budaya masyarakat, minimnya akses layanan kesehatan, kesenjangan layanan pendidikan, kecilnya kesempatan dalam kegiatan publik dan politik, rendahnya kualitas hidup dan masih tingginya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kiprah kaum perempuan dalam pembangunan sangatlah diperlukan. Mengapa demikian? Karena sejatinya kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama tapi terdapat suatu kenyataan bahwa “beban” yang kini dihadapi oleh kaum perempuan amatlah berat. Sebut saja kasus-kasus seperti angka kematian ibu melahirkan, masalah kemiskinan, angka buta huruf atau keterbelakangan dalam pendidikan, masalah akses terhadap layanan kesehatan yang baik serta kelangkaan lapangan pekerjaan bagi perempuan, sampai dengan masalah kekerasan yang kerapkali menimpa kaum perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan lain di luar rumah. Padahal beban ini bukan hanya milik perempuan tetapi semua lapisan masyarakat.
Sudah saatnya perempuan tidak lagi dianggap sebagai beban, tetapi bisa menjadi potensi luar biasa dalam menopang ekonomi nasional untuk pembangunan bangsa. Sebenarnya perempuan yang hanya tamatan SD saja sangat luar biasa perannya dalam peningkatan ekonomi kelurga, tetapi mereka tidak menyadari itu. Ada wirausaha perempuan yang membantu suami menambah pendapatan keluarga, ada juga yang berperan sebagai kepala rumah tangga.
Namun demikian, meningkatnya peran perempuan dalam ekonomi keluarga jangan sampai berdampak buruk terhadap harmonisnya rumah tangga. Jadi, peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga sudah selayaknya berorientasi untuk harmonisnya keluarga. Percaya deh, semua perempuan sesungguhnya adalah superwoman. Supermom. Perempuan dapat melakukan multitasking. Wajar saja jika ada yang mengatakan kesuksesan pria selalu ada wanita di baliknya. Adagium bahwa hari depan bangsa ada di tangan ibu sulit terpatahkan.
LOMBA KARYA TULIS POPULER
Tema :
Peran Perempuan dan Laki-laki Dalam Membangun Ketahanan Ekonomi Menuju Kesejahteraan Bangsa
BERSINERGI MEMBANGUN EKONOMI KELUARGA
Oleh : Weni Lestari
Dharma Wanita Persatuan
Unit Balitbangda Provinsi Jambi
2011
.
Secara ringkas, membangun kemandirian perempuan bermuara pada pendidikan. Dengan pendidikan, perempuan dapat menemukan aktualisasi diri yang pas bagi dirinya dan keluarga. Dengan pendidikan, perempuan memperoleh sarana untuk menciptakan eksistensi diri dan mengekspresikan gagasan sekaligus membentuk jejaring sosial agar dirinya tidak saja bermanfaat bagi keluarga, tetapi juga bagi orang lain.
Sedikitnya ada 3 jenis kemandirian perempuan yang perlu diberdayakan. Pertama, kemandirian ekonomi. Mandiri dalam konteks ini berarti memiliki kemampuan ekonomi yang produktif. Perempuan dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk mencari tambahan pemasukan bagi dirinya sendiri atau keluarga. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memiliki keterampilan hidup guna menolong dirinya sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada suami.
Kedua, kemandirian intelektual. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan beraktualisasi dengan memanfaatkan intelektualnya untuk memiliki eksistensi. Dengan demikian, meski perempuan secara ekonomi bergantung pada suami, tapi perempuan secara mandiri dapat eksis untuk memberi kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan. Ketiga, kemandirian sikap. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan memiliki kemampuan untuk memilih sikap terhadap berbagai soalan kehidupan. Perempuan menjadi partnership yang setara dengan suami untuk menyampaikan pendapat, opsi, maupun solusi. Dengan demikian, perempuan menjadi penyeimbang sekaligus mitra sejajar bagi suami dalam mengarungi rumah tangga.
No comments:
Post a Comment